Saturday, September 8, 2018

Cerita Bos BCA Soal krisis 1998




Pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS yang terjadi beberapa waktu terakhir disebut-sebut mirip dengan krisis 1998. Karena nilai dolar AS terus mendekati posisi Rp 15.000.

Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja yang sudah 28 tahun menjadi bankir menceritakan tahun 1998 adalah masa-masa terberat untuk dunia perbankan di Indonesia.

Saat itu, International Monetary Fund (IMF) meminta pemerintah untuk menutup 16 bank kecil.

"Saya ingat, saat itu ketika bank-bank kecil ditutup masyarakat resah dan mereka memindahkan dana ke bank pemerintah dan bank besar termasuk BCA," kata Jahja saat berbincang dengan detikFinance, belum lama ini.

Kemudian, hal tersebut dilanjutkan dengan krisis moneter dan krisis ekonomi. Namun, kepercayaan masyarakat terhadap bank masih ada. Pada Mei 1998, pemerintahan Soeharto mengalami masalah.

Padahal saat itu 30% saham BCA dikuasai anak-anak Soeharto. "Saat itu memang sulit, karena ada nuansa politiknya, jadi masyarakat hilang kepercayaan dan mereka tarik dana besar-besaran. Sampai akhirnya BPPN ambil alih bank ini setelah rush. Oktober dan November 1998 kepercayaan berangsur membaik," tambah dia.

Kepercayaan itu kembali karena masyarakat melihat ada penyelamatan dan bisnis bank mulai berjalan normal. Pada 1999 BCA sudah mengalami untung dan pada tahun 2000 BCA mulai melepas kredit secara normal.

Kemudian setelah masa pemulihan, makin banyak nasabah loyal BCA. Apalagi dengan mulai dibentuknya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada 2004.

Jahja menjelaskan, saat ini kondisi ekonomi Indonesia tidak mirip dengan era 97/98. Saat itu masalah politik sangat kuat sehingga menyebabkan kerusuhan. Kondisi ekonomi nasional saat ini murni dipengaruhi sentimen global.

Namun Jahja tak memungkiri jika masalah politik pemilihan Presiden RI tahun depan juga sangat krusial. Dia mengharapkan isu ekonomi ini tak dijadikan sebagai bahan bakar politik.

"Ya meskipun di dunia politik semua cara dihalalkan. Harapan saya janganlah, kalau Indonesia hancur kan kita rakyat sama-sama rugi. Padahal sekarang lagi bagus, kalau tidak ada faktor eksternal Indonesia bagus ekonominya. Tidak ada yang mengganggu kepercayaan masyarakat," jelas dia.

Lain dulu lain sekarang, Jahja menjelaskan saat 1998 kondisi sangat sulit karena inflasi tinggi, BI yang menaikkan bunga terlalu cepat untuk menahan aliran modal asing keluar, kurs Rupiah tak terkendali dan cadangan devisa Indonesia yang sangat kecil, bahkan tidak cukup.

Saat itu, pengawasan penjualan dolar AS sangat longgar dan menyebabkan spekulan bisa memborong dolar AS dalam jumlah besar.

"Jadi orang mau beli dolar AS itu gampang sekali. Kalau sekarang kan mau beli banyak ditanya dulu underlying-nya mana? Kalau butuh buat impor harus jelas dulu peruntukannya apa," tambah dia.

Kemudian dari nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS yang bergerak sangat cepat dari kisaran Rp 2.000 pada November 1997 menjadi Rp 16.000 pada 1998.

"Kalau dulu itu geraknya cepat sekali, cepaaat sekali. Hanya dalam beberapa bulan. Kalau sekarang kan pelan-pelan dan karena faktor eksternal," ujarnya.

0 comments:

Post a Comment